Hendy Hertiasa, seorang akademisi seni dan desain asal Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat sebuah terobosan baru dalam memahami relief candi Borobudur bagi orang awam.
Lewat penelitian panjangnya sejak 2016 Hendy telah berhasil memproyeksikan relief di Candi Borobudur menjadi gambar animasi 3D yang mampu bergerak layaknya film.
Kini, mengunjungi situs candi dapat menjadi sebuah pengalaman menyenangkan, tak hanya menikmati panorama dan berselfie ria, namun juga mendapat wawasan lebih untuk memahami pesan yang disampaikan orang zaman dahulu.
Hendy telah berhasil mengembangkan software atau aplikasi yang memungkinkan untuk menonton film animasi setelah memotret relief di candi Borobudur.
“Saat berkunjung ke Borobudur, kita akan mendapat tiket dan software, setelah dipasang di sofware itu akan berisi informasi interaktif di relief, jadi saat diinteraksikan dengan relief seperti ambil foto, langsung keluar film animasi relief itu beserta penjelasannya,” ungkap Hendy dalam gelaran pameran Better Understanding Karmawibangga yang ia lakukan di Jimbaran, Bali, Jumat (18/11).
Kharmawibangga, objek yang menjadi penelitian Hendy merupakan relief yang terletak di dasar candi yang berlokasi di Magelang Jawa Tengah itu. Keberadaan relief ini cukup kontroversial, hal itu lantaran dalam penampakannya relief itu dianggap menampilkan unsur pornografi seperti berpakaian terbuka hingga telanjang dada. Bahkan kontroversi mengenai penguburan relief itu.
Namun jangan salah kaprah, Hendy menegaskan relief Karmawibangga tersirat pesan yang amat luhur yang berusaha disampaikan oleh pembuat candi Borobudur kepada siapa pun yang mengunjungi situs itu.
Ia juga mengemukakan Karmawibangga ditutup bukan karena reliefnya mengandung unsur pornografi tetapi karena pertimbangan kontruksi demi keamanan dan kelestarian candi agar tidak roboh seiring dengan berjalannya waktu yang setiap hari menangung beban ratusan bahkan ribuan pengunjung saat naik di punggung Candi Borobudur.
Dari posisinya yang berada pada kaki candi, relief Karmawibhangga dipahatkan berdasarkan kitab Mahakarmawibhangga.
“Karma berarti perbuatan, Wibangga berarti samudera atau lautan, jadi Karmawibangga adalah samudra perbuatan manusia yang selalu disandingkan, baik buruk dualisme dalam kehidupan,” ungkapnya.
Hendy mengatakan, saat pengunjung mengambil foto relief Karmawibangga dari aplikasi yang diberikan saat berkunjung ke situs ini, akan menampilkan dengan babak cerita layaknya serial film.
Kharmawibangga terdiri atas 160 panil relief, yang membentuk 10 serial cerita. “Ada yang bercerita mengenai kesehatan, umur, penampilan, keluarga, pengetahuan, kekayaan hingga perbuatan baik buruk,” ungkapnya.
Cerita-cerita itu selalu ditampilkan dengan dua versi yakni baik dan buruk. Hendy menyebut bagian ini merupakan potret kehidupan di era candi itu di bangun pada masa Mataram Kuno.
“Ini umpamanya seperti video, bedanya zaman sekarang ada kamera dan proses editing, nah pada masa itu pakai batu, ini sangat luar bisa,” ungkapnya takjub.
Bagian panil sebelah kanan merupakan sebab dan bagian kirinya adalah akibatnya. Hal tersebut dapat diketahui secara pasti dikarenakan adanya inskripsi pendek berbahasa Sanskerta yang merupakan panduan bagi pemahat untuk memahat relief pada bidang kaki candi.
Sedangkan inskripsi pendek yang dijumpai pada sebagian panil relief Karmawibhangga, dapat menjadi petunjuk yang jelas bahwa penutupannya dikarenakan alasan teknis.
Sejatinya penelitian Hendy merupakan upayanya untuk meraih gelar doktoral seni dan desain di ITB. Upayanya begitu gemilang dalam rangka mewariskan nilai-nilai serta warisan sejarah.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyambut baik upaya Hendy. Dengan dukungan itu ke depannya ia berencana untuk mengembangkan model serupa di situs-situs warisan sejarah lainnya.
Source: https://kumparan.com/kanalbali/1zIMsKzNGiF/full?utm_source=Mobile&utm_medium=wa&shareID=jhZX1x8M5FWO